loading...
FGD bertema Penguatan Kualitas Penilaian Pendanaan Penyelenggara LPBBTI diselenggarakan OJK di Royal Tulip Gunung Geulis, Bogor, Rabu (11/6/2025). Foto/Dok. SindoNews
BOGOR - Tantangan industri tak lagi sekadar soal pertumbuhan, melainkan juga soal kualitas dan ketahanan risiko. Rasio kredit bermasalah (TWP90) yang tercatat 2,93% mendorong pentingnya evaluasi ulang terhadap praktik penilaian kelayakan pinjaman , terutama melalui pemanfaatan credit scoring yang berbasis data, akurat, dan real-time.
Isu ini menjadi isu utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) , di Royal Tulip Gunung Geulis, Bogor, Rabu (11/6/2025). Mengusung tema Penguatan Kualitas Penilaian Pendanaan Penyelenggara LPBBTI, FGD ini mempertemukan regulator, penyelenggara fintech lending (LPBBTI), dan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) untuk menyamakan visi tata kelola risiko pembiayaan digital. Baca juga: Cara Fintech Berperan Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Dalam forum tersebut, Presiden Direktur PT Kredit Biro Indonesia Jaya (CBI) Anton K Adiwibowo menegaskan sistem credit scoring tidak lagi bisa bersifat statis dan hanya berorientasi pada riwayat kredit konvensional. Di era digital, di mana keputusan pinjaman perlu diambil dalam hitungan detik, penyedia informasi kredit harus hadir sebagai infrastruktur analitik yang responsif, terpercaya, dan mampu menyerap berbagai sumber data alternatif.
CBI mendorong pendekatan Dynamic Analytics Innovation. Yakni pengembangan sistem credit scoring yang tidak hanya akurat dalam penilaian risiko, tetapi juga adaptif terhadap perubahan perilaku digital nasabah. ”Kami memanfaatkan machine learning, predictive scoring, hingga data perilaku digital untuk membangun insight yang kontekstual dan relevan bagi industri,” katanya.
Dengan sistem yang ada di CBI, penyelenggara LPBBTI dapat menjalankan proses verifikasi, evaluasi risiko, dan monitoring portofolio dengan lebih efisien. ”Lebih dari itu, kami juga mendukung upaya OJK dalam meningkatkan kualitas pengawasan berbasis data, termasuk integrasi dengan pelaporan regulator dan sertifikasi keamanan informasi,” tambahnya.
Dukungan terhadap penguatan peran biro kredit juga disuarakan Asosiasi Pengelola Informasi Kredit (APiiK). Dalam paparannya, perwakilan APiiK menyampaikan lembaga pengelola informasi kredit kini telah berevolusi menjadi infrastruktur krusial dalam pengambilan keputusan digital lending, dengan standar sistem, keamanan, dan kecepatan yang mendukung proses real-time approval dan pengambilan keputusan risiko secara otomatis.
APiiK menyoroti keandalan sistem informasi kredit menjadi faktor penting dalam membangun kepercayaan industri. Penyedia informasi kredit kini tidak hanya mengandalkan data historis, tetapi juga membangun integrasi dengan data e-KYC, e-commerce, telco, behavior digital, dan sistem internal penyelenggara LPBBTI untuk membentuk credit scoring yang adaptif terhadap setiap segmen pinjaman—dari mikro hingga invoice financing.