loading...
JAKARTA - Di balik ruang rapat dewan direksi yang sunyi, sebuah "kudeta" senyap yang bernilai triliunan rupiah kini tengah dilancarkan. Akio Toyoda, sang "pangeran" dan cucu dari pendiri Toyota, yang tahun lalu "ditendang ke atas" dari posisi CEO menjadi Chairman, kini kembali mengambil alih kendali penuh atas imperium otomotif terbesar di dunia itu.
Ini bukanlah sekadar restrukturisasi bisnis biasa. Ini adalah sebuah drama perebutan kekuasaan, sebuah janji di makam sang kakek yang kini diwujudkan melalui manuver finansial yang sangat berisiko dan kontroversial.
Perjudian Rp541 Triliun untuk sebuah Nama Keluarga
Langkah utama dari "kudeta" ini adalah pembelian kembali perusahaan induk asli, Toyota Industries, dalam sebuah kesepakatan senilai USD33 miliar (sekitar Rp541 triliun). Tujuannya adalah untuk menjadikan perusahaan ini sepenuhnya privat, terbebas dari pengawasan investor publik.
Namun, di sinilah letak kontroversinya. Manuver ini dilihat oleh banyak pihak sebagai sebuah "power play" atau permainan kekuasaan untuk mengkonsolidasikan kembali kendali keluarga Toyoda. Padahal, secara teknis, kepemilikan saham gabungan keluarga ini di Toyota Motor bahkan tidak mencapai 2%.
Yang lebih dramatis, kesepakatan raksasa ini ternyata didanai dengan cara yang sangat lihai. Akio Toyoda dilaporkan hanya menyumbang USD7 juta (sekitar Rp115 miliar) dari kekayaan pribadinya. Sisanya? Didanai oleh perusahaan-perusahaan di bawah payung Toyota dan pinjaman bank. Ini adalah sebuah langkah yang, "bagaimanapun Anda membungkusnya," adalah sebuah upaya "untuk mengkonsolidasikan kekuasaan keluarga di seluruh kekaisaran," tulis laporan dari Observer.
Paradoks Sang Pemimpin: Dicintai Hasilnya, Dibenci Orangnya?
Di sinilah letak ironi terbesar dari kisah Akio Toyoda. Di satu sisi, ia adalah seorang pemimpin yang sangat sukses. Ia mengambil alih kemudi pada tahun 2009 di tengah krisis global yang menyeret Toyota ke jurang kerugian USD4,4 miliar (sekitar Rp72 triliun), yang pertama sejak tahun 1950.
Namun, ia berhasil membalikkan keadaan dan "secara kokoh mengukuhkan tempat Toyota sebagai produsen mobil terbesar di dunia," sebagian besar berkat skepticismenya terhadap transisi mobil listrik yang terburu-buru.
Namun di sisi lain, ia adalah seorang pemimpin yang sangat tidak disukai oleh para investor asing. Pada Rapat Umum Pemegang Saham tahun lalu, sebuah fakta yang menohok terungkap: "sepenuhnya dua pertiga investor institusional asing menentang pemilihan kembali dirinya sebagai direktur," dan tingkat dukungan keseluruhannya yang hanya 72% adalah "yang terendah dari semua direktur dalam sejarah Toyota."