Tegaskan KDRT Bukan Urusan Privat, Partai Perindo: Perlu Sistem dan Tata Kelola Terstruktur-Berkelanjutan

5 hours ago 32

loading...

Ketua DPP Partai Perindo Bidang Perdesaan dan Potensi Kedaerahan Firda Riwu Kore. Foto/Istimewa

JAKARTA - Banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) di Indonesia kembali menjadi alarm keras bagi negara dan seluruh elemen masyarakat. Laporan terbaru Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat 11.850 kasus kekerasan sepanjang tahun 2025. Bahkan, 1 dari 4 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya, berdasarkan data resmi dari SIMFONI PPA, sebuah sistem pencatatan kekerasan real-time lintas provinsi dan kabupaten.

Bagi Ketua DPP Partai Perindo Bidang Perdesaan dan Potensi Kedaerahan Firda Riwu Kore, angka-angka ini bukan sekadar statistik. "Setiap data itu adalah nyawa, adalah trauma yang menahun, adalah anak-anak yang tumbuh dalam ketakutan, dan perempuan yang kehilangan martabatnya dalam senyap," ujar Firda dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Senin (23/6/2025).

Dia menegaskan bahwa KDRT bukanlah urusan domestik belaka. Menormalisasi kekerasan atas nama budaya, aib keluarga, atau relasi kuasa dalam rumah tangga adalah bentuk ketidakadilan struktural yang membunuh dalam diam. "Selama kita memaklumi kekerasan sebagai urusan privat, selama itu pula kita mengkhianati amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa termasuk para perempuan yang hari ini hidup dalam ketakutan di balik pintu rumahnya sendiri," tegas Firda.

Baca Juga: ASN di Bandung Barat Korban KDRT Istri, Polisi: Laporan Sudah Dicabut

Menurut Sarjana Hukum dari Universitas Pelita Harapan ini, sistem pencatatan yang ada pun masih menyisakan celah besar. "Banyak kasus tidak tercatat karena korban enggan melapor takut, malu, atau karena tidak percaya bahwa negara bisa melindungi mereka. Di sinilah akar masalahnya: negara belum hadir secara utuh sebagai pelindung," katanya.

Untuk itu, Firda mendorong adanya reformasi sistem pencatatan dan perlindungan korban yang bersifat lintas sektor terintegrasi antara layanan kesehatan, pendidikan, kepolisian, dan masyarakat sipil. "Kita butuh data yang kuat untuk membuat kebijakan yang efektif. Tanpa itu, semua intervensi hanya bersifat tambal sulam."

Firda mengajak publik untuk berhenti menyalahkan korban. "Budaya menyalahkan korban baik melalui komentar, pemberitaan media, maupun narasi institusional harus dihentikan. Kita tidak hanya melawan pelaku kekerasan, tapi juga sistem sosial yang memungkinkan kekerasan terus terjadi tanpa konsekuensi," tegas tokoh muda berdarah NTT ini.

Read Entire Article
Budaya | Peduli Lingkungan| | |