loading...
Nurul Ghufron Komisaris Bank Jatim. Foto/istimewa
Nurul Ghufron
Komisaris Bank Jatim
MENKEU Purbaya hadir dengan Kebijakan yang fokus menjaga stabilitas fiskal, mendorong pertumbuhan ekonomi, efisiensi anggaran, dan optimalisasi penerimaan negara. Kebijakannya ini berorientasi Preventif-ekonomis (stabilitas & pertumbuhan) dengan Instrumen Kebijakan fiskal, pajak, subsidi, efisiensi belanja, pengawasan bank, dan digitalisasi.
Namun sebelum melangkah jauh kedepan mengenai kebijakan hukum dalam keuangan negara khususnya Hukum Pidana. Sesungguhnya masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak bisa diabaikan, karena wajah kebijakan hukum keuangan negara kita memiliki ambiguitas. Paradigma kebijakan Keuangan negara kita sejauh ini sesungguhnya memiliki problem dualisme. Lingkup keuangan negara mencakup dua sisi besar: pertama Penerimaan Negara: Semua pendapatan negara, baik pajak, bea cukai, migas, dividen BUMN, Pajak, PNBP, royalti SDA.
Dan lainnya yang menambah keuangan negara. Kedua Belanja Negara: Semua pengeluaran pemerintah pusat/daerah, termasuk hibah, subsidi, dan pengadaan barang/jasa. APBN/APBD, proyek fisik, dana hibah Dalam teori hukum keuangan publik, keduanya sama-sama bagian dari “harta publik (public fund)” yang dilindungi oleh hukum — termasuk melalui hukum pidana. Oleh karena itu sebelum pangkas dan potong ranting-ranting kebijakan keuangan negara diteruskan. Menkeu perlu menoleh sebentar tentang paradigma hukum khususnya pidana dalam aspek keuangan negara yang masih mendua. Implikasinya Panjang dari kebijakan sampai pada tataran tehnis.
Ketidaksinkronan Paradigma Hukum Keuangan
Mari kita perhatikan bagaimana paradigma kebijakan hukum pidana terhadap keuangan negara dibangun dan bekerja hingga saat ini. Berikut gambaran makro ketidak konsistenan tersebut.
A. Pendekatan Pidana pada Sektor Penerimaan Negara (Revenue Side)
Karakter pendekatan. Pendekatan pidana di sisi penerimaan cenderung: a. Khusus dan sektoral, karena diatur dalam undang-undang bidang pajak, kepabeanan, PNBP, dan migas. b. Berorientasi pada kepatuhan (compliance-oriented), bukan pada pemidanaan langsung. Hal itu tercermin dari Instrumen hukum pidana: a.Pajak UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) dalam UU ini pendekatan jenis pidananya berupa jeratan tindak pidana Penggelapan pajak, faktur fiktif, manipulasi laporan.
B. Bea & Cukai UU Kepabeanan dan UU Cukai, dalam UU jeratan jenis pidananya berupa Penyelundupan, manipulasi nilai impor, cukai illegal. c. PNBP/SDA UU Minerba, Migas, Kehutanan. Dalam UU ini jeratan jenis pidananya Penggelapan royalti, pelanggaran izin yang merugikan negara.
Ciri khas pendekatannya di sector penerimaan: 1. Lebih menekankan pengembalian penerimaan negara yang hilang, bukan sekadar pemidanaan pelaku. Masing-masil diatur secara special dan partial dalam UU yang tersendiri. 2. Ada ruang penyelesaian administratif sebelum masuk ke pidana (misalnya: pembayaran pajak plus denda yang berkonsekwensi penghentian penyidikan). dan 3. Tujuan akhirnya: recovery penerimaan, bukan sekadar punishment pelakunya.
Dalam kasus pidana perpajakan (Pasal 44B UU KUP), apabila pelaku melunasi pajak dan dendanya sebelum penyidikan, maka tidak dilakukan penuntutan. Artinya, penyelamatan penerimaan negara diutamakan di atas pemidanaan. Bandingkan dengan pasal 4 UU tindak pidana korupsi, secara tegas dinyatakan bahwa pengembalian negara tidak menghapus penuntutan pidananya.















































